Aug 16, 2016

Guru Galau Bagian Satu

Guru Galau Bagian Satu - Sebenarnya, awal mula gue memutuskan membuat blog ini adalah karena akhir-akhir ini, gue sering merasa galau dengan profesi gue. Jadi, gue mengambil sebuah keputusan besar, dimana gue harus punya wadah yang bisa menampung isi kegalauan gue tanpa mengganggu orang-orang di sekitar gue karena gue sadari, dengan merasa galau, gue akan jadi lebih mudah mengeluh tentang banyak hal. Jadi, di sinilah, gue, menatap layar laptop gue dan berkutat dengan tuts dan pikiran-pikiran kacau di dalam kepala gue. Memilih dan menuangkan perasaan dan pikiran gue ke dalam sebuah tulisan. Jadi, ya jangan heran kalau di dalam blog ini, kalian akan menemukan banyak hal-hal absurd tentang kegalauan gue sebagai seorang guru--yang tidak mungkin bisa gue sampaikan kepada orang lain. Misalnya postingan gue sebelumnya : Benarkah Dunia Pendidikan Indonesia Sedang dalam Masa Suram?

Guru Galau Bagian Satu - Aida Basita
Guru Galau Bagian Satu - Aida Basita
Ngomong-ngomon, sejauh ini, gue belum mengenalkan diri gue sebagai pemilik blog. Dan maafkan gue karena ketidaksopanan ini. Kalian bisa mengenal dan menyapa gue dengan Aida, yep, paling tidak, itu adalah nama yang gue ingin kenalkan ke kalian semua. Aida Basita.

Uhm.. tentang profesi gue yang sebelumnya sudah gue sebutkan, gue adalah seorang lulusan fakultas keguruan--yang secara otomatis dan gue tidak memiliki pilihan lain kecuali menjadi seorang guru. Pernah suatu kali gue mengantarkan sahabat baik gue mendaftar ke sebuah bank BUMN terkenal yang langsung menolak sahabat gue dengan alasan, jurusan kuliah kami sama sekali tidak mendukung untuk bisa bekerja di bank. Halo? Padahal sebelumnya, dua teman gue lainnya yang berada di jurusan yang sama sudah benar-benar bekerja di bank mereka. Itulah sebab musabab gue mengatakan bahwa gue tidak punya alasan lain untuk bekerja selain menjadi seorang guru sesuai dengan studi yang gue tempuh di bangku kuliah. 

Nah, pernah suatu waktu setelah gue baru lulus dari kuliah. Saat itu gue benar-benar berusaha sekuat tenaga mendapatkan pekerjaan. Setiap hari yang gue lakukan hanya membawa map-map berisi surat lamaran pekerjaan dan CV yang minim pengalaman dan mengantarkannya ke semua lowongan pekerjaan yang gue lihat di iklan koran. Apapun bentuknya, apapun pekerjaannya, selama halal, gue akan lakukan. Saat itu, tidak ada pikiran lain di otak gue selain cepat dapat kerja dan berusaha tidak membebani orangtua gue terus-menerus. Tapi sayangnya, hampir setahun upaya gue mencari kerja tidak membuahkan hasil. Segala pekerjaan yang gue coba lamar, nihil.

Dulu, kalau ada yang bilang, kehidupan kalian dimulai saat kalian mulai menulis skripsi: akan ada banyak rintangan dan halangan yang menghadang, menguras waktu, tenaga, dan pikiran, yang membutuhkan keimanan dan ketawakalan. Semua itu tidak benar, Saudara-saudara! Kehidupan baru dimulai saat kalian--wahai para mahasiswa tingkat akhir--baru akan dimulai saat bapak Rektor memindahkan tali di toga kalian di hari kalian wisuda. Jadi, selagi masih berstatus mahasiswa, berbahagialah! Karena saat semua pengharapan kalian tentang pekerjaan idaman yang mungkin kalian bayangkan bisa diraih hanya dengan selembar ijazah S-1 mulai terkikis, di sanalah, titik-titik kehidupan kalian akan terasa sangat berat.

Bersyukurlah jika kalian hidup dalam lingkaran sosial, dimana orangtua kalian bisa mencarikan koneksi untuk mendapatkan pekerjaan bagi kalian, anak-anaknya. Tapi bagi gue--yang benar-benar merasakan sulitnya mencari pekerjaan tetap, meski hanya sebagai tenaga honorer di sebuah SD pinggiran kabupaten dengan gaji 250ribu rupiah per bulan--pekerjaan yang gue dapat tanpa koneksi apapun itu sangatlah membanggakan!

Mungkin, kenapa gue memilih berkuliah di keguruan karena ada pengaruh-pengaruh dari kehidupan gue semasa kecil. Ibu gue adalah seorang guru Penjaskes di sebuah SD yang jumlah muridnya tidak terlalu banyak. Saat kecil Ibu gue selalu membawa gue turut serta ke sekolah. Menemani beliau mengajar di kelas atau lapangan, meskipun yang bisa gue lakukan saat itu hanyalah nenen ASI Ibu dan nangis kalau ada yang mengganggu aktivitas sakral gue itu. Mungkin darah mendidik dan mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa yang ada di dalam diri Ibu turun ke gue, sehingga, bisa terpikirkan oleh gue untuk menjadi seorang guru di saat gue dewasa. 

Dan sejauh yang gue ingat, ketika di SMP gue pernah benar-benar mengidolakan guru Bahasa Indonesia di kelas 9 karena menurut gue, dia benar-benar bisa menunjukkan pribadi yang baik sebagai seorang guru. Oleh sebab itu--gue rasa--gue memilih jurusan Bahasa Indonesia di fakultas keguruan, tempat gue berkuliah. 

Uhm... gue rasa untuk sebuah perkenalan, isi postingan kali ini sudah sangat membosankan buat kalian. Jadi, mungkin lain kali akan gue sambung lagi, kapan-kapan. Tetap semangat and see ya!

Hayo, mau komen apa coba?

Link aktif akan langsung ditandai sebagai spam, sebagai alternatif bisa pilih comment as menggunakan Nama/URL ya :)
EmoticonEmoticon